Pemerintah Diminta Lindungi Industri Rokok, Ini Alasannya

Aktivitas Buruh Rokok di Tengah Rencana Kenaikan Cukai
Foto: Grandyos Zafna

Jakarta

Industri tembakau jadi salah sesuatu penopang perekonomian dalam negeri. Industri hasil tembakau (IHT) dengan jutaan pekerja di dalamnya, berkontribusi besar kepada penerimaan negara dari cukai hasil tembakau serta pajak pertambahan nilai (PPN).

Peringatan hari tembakau sedunia juga menjadi pengingat betapa pentingnya industri tersebut. Meski tujuan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) buat hidup sehat tanpa tembakau, tetapi tak disangkal konsumsi rokok sulit dipercayai sanggup dihilangkan.

“Bila konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau dimatikan, sanggup dibayangkan berapa banyak pekerja Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan dan berapa banyak negara mulai kehilangan pendapatan. Bisa jadi justru ini akan diraup oleh industri tembakau di luar negeri, baik yg legal maupun ilegal,” kata Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Cimahi, Hikmahanto Juwana, Jumat (31/5/2024).

Menurutnya, hasil tembakau di Indonesia bukan hanya berlangsung pada bidang kesehatan saja, tetapi juga sektor ekonomi, sosial, budaya. Jika hasil tembakau dimatikan, sungguh dikhawatirkan Indonesia mulai bergantung kepada supply tembakau dari luar negeri, sedangkan Indonesia memiliki sumber daya tembakau melimpah dan perokok aktif Indonesia yg banyak.

Baca juga: Nggak Main-Main, Sebesar Ini Pengaruh Pajak-Cukai ke Harga Jual Rokok

Hikmanto mengingatkan bahwa IHT di Indonesia telah menjadi warisan bebuyutan bangsa Indonesia, sehingga penduduk tidak sanggup dipisahkan dari tembakau. Pihaknya menegaskan, Indonesia punya kedaulatan tergolong bagi menertibkan IHT.

“Pengambil kebijakan mesti paham betul tujuan mulia dibalik HTTS kalau kesudahannya cuma mematikan industri tembakau di Indonesia. Jangan hingga pengambil kebijakan mematikan industri tembakau dalam negeri di tengah konsumsi rokok dari penduduk Indonesia,” terangnya.

Sementara, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna berpandangan, HTTS dinilai tak tepat. Pasalnya, pengkonsumsian barang yang dibuat dari materi baku tembakau ialah suatu kebiasaan. Jadi, tak perlu ada deklarasi dalam bentuk penentangan kepada komoditas tersebut.

“Merokok sanggup berhenti kapan saja, misalnya di saat puasa. Selama 12 jam perokok sanggup menahan diri untuk tidak memakan rokok tanpa merasa ketagihan,” ujar Sarmidi.

Sarmidi Husna mensinyalir, HTTS ialah penggalan dari acara rezim kesehatan global yang mulai merusak kelancaran hidup jutaan petani tembakau yg lebih banyak didominasi Nahdliyin.

Agenda global itu, menurut Sarmidi, mesti ada political-will pemerintah untuk melindungi dan menjamin Hak Ekosob keluarga para petani tembakau selaku penghasil komoditas unggulan.

“Jangan hingga Hak Ekosob para petani terancam dan mereka senantiasa menjadi ‘pesakitan’ dengan stigma penguras budget kesehatan, penyebab kematian, dan seterusnya,” tegasnya.

Sarmidi menegaskan, kebijakan yg terlalu ketat kepada IHT, akan sanggup mematikan IHT dan ekosistemnya, sementara perokok tidak mulai berhenti merokok, tapi mencari jalan lain memakan rokok ilegal dan/atau rokok impor.

Apabila hal ini terjadi, kata Sarmidi, mulai memperbesar dampak negatif yg yang lain seumpama membuat peningkatan pengangguran yang sanggup menyebabkan kendala sosial politik, mengusik stabilitas dan keamanan. Sementara eksternalitas negatif yg akan dikendalikan tidak tercapai.

“Karena itu, acara tahunan HTTS mesti disikapi oleh pemerintah selaku salah sesuatu komponen penyelenggara negara dalam menghasilkan kebijakan dengan memerhatikan prinsip kemaslahatan dan kemakmuran rakyatnya,” pungkasnya.

tembakauindustri tembakauiht

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *